BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kesehatan adalah
keadaan sejahtera dalam badan, jiwa, dan sosial sebagai modal setiap insan
manusia untuk melakukan kegiatan yang produktif. Kesehatan menjadi kebutuhan
yang sangat vital bagi setiap manusia. Hampir seluruh orang akan membayar
berapapun besaran uang untuk mengembalikan kesehatan mereka seperti sedia kala.
Tetapi tidak semua orang terlahir dalam kondisi yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan dalam pemulihan kesehatan. Oleh sebab itu pemerintah melakukan
tindakan campur tangan untuk membantu warga negaranya dalam menjaga kesehatan.
Langkah awal pemerintah adalah dengan memberikan pendidikan kesehatan sejak
usia dini, misalnya dalam program mengajarkan cara sikat gigi yang benar, cuci
tangan sebelum dan sesudah makan. Tetapi tidak semua penyakit dapat ditaklukkan
begitu saja. Pemerintah juga bertindak dalam mengatur dan memberikan pelayanan
dalam segi kesehatan seperti penyediaan rumah sakit untuk umum dan jaminan
kesehatan sebagai bentuk kepedulian negara terhadap warga negara.
Dalam
memberikan pelayanan kesehatan berbentuk rumah sakit maupun perlindungan dalam
bentuk kartu asuransi maka dibutuhkan manajemen pelayanan yang baik guna
memberikan pelayanan yang merata sesuai dengan prinsip good governance yang diadopsi dalam menyelenggarakan negara. Manajemen
pelayanan sendiri adalah suatu pengorganisasian berbagai aktivitas yang tidak
dapat dilakukan sendiri untuk memberikan pelayanan kepada orang lain. Manajemen
pelayanan dibutuhkan untuk melayani kesehatan masyarakat untuk memberikan
kesetaraan guna mencapai tujuan negara yaitu keadilan yang adil bagi seluruh
rakyat indonesia.
Mayoritas
masyarakat indonesia yang berada di bawah angka kemiskinan memberikan motivasi
tersendiri untuk pemerintah untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan yang
maksimal. Seperti pemberian layanan BPJS Kesehatan (Badan penyelenggara Jaminan
Sosial) bagi masyarakat baik yang kurang mampu maupun yang bergabung. Bagi
orang yang kurang mampu pemerintah memberikan subsidi untuk berobat. Tetapi
dalam nyatanya orang dengan pemegang kartu BPJS dengan subsidi pemerintah
banyak yang mengeluhkan tentang manajemen pelayanan yang berbeda dengan mereka
yang membayar premi lebih banyak dari pihak terkait. Mereka tidak diberlakukan
sama dengan mereka pemegang kartu BPJS
kelas atas. Dalam pelayanan
BPJS terdapat tingkatan kelas yang menggambarkan ketidak setaraan pelayanan
yang akan mereka berikan terkait dengan keadilan. Oleh sebab itu dari masalah
diatas pada makalah ini akan dibahas mengenai Studi Deskriptif Permasalahan
Pelayanan Kesehatan terhadap Pengguna BPJS dilihat dari Perspektif Manajemen
Publik yang dalam kenyataannya praktik
BPJS Kesehatan ini terkadang menghadapi permasalahan yang besar , tidak sesuai
dan bertolak belakang dengan prinsip yang harusnya berlaku di negara Indonesia
B.
Rumusan
Masalah
Bagaimana
Studi Deskriptif Permasalahan Pelayanan Kesehatan terhadap Pengguna BPJS
dilihat dari Perspektif Manajemen Publik?
C.
Tujuan
Mengetahui
Studi Deskriptif Permasalahan Pelayanan Kesehatan terhadap Pengguna BPJS
dilihat dari Perspektif Manajemen Publik
D.
Manfaat
1. Manfaat
Teoritis
a. Hasil
dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan Teori
Administrasi Negara dalam bidang kajian Kebijakan Manajemen Publik.
b. Hasil
dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu informasi dan menambah
wawasan untuk referensi di lingkungan akademis sehingga nantinya dapat
bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan
2. Manfaat
Praktis
a. Hasil
dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi pelaksanaan
program BPJS Kesehatan di Indonesia, untuk memberikan pelayanan yang lebih baik
lagi.
b. Hasil
dari penelitian ini diharapkan dapat mengubah Permasalahan Pelayanan Pengguna
BPJS Kesehatan
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Teori Pelayanan
a. Konsep
Pelayanan
Istilah pelayanan berasal dari kata
“layan” yang artinya menolong menyediakan segala apa yang diperlukan oleh orang
lain untuk perbuatan melayani. Pada dasarnya setiap manusia membutuhkan
pelayanan, bahkan secara ekstrim dapat dikatakan bahwa pelayanan tidak dapat
dipisahkan dengan kehidupan manusia (Sinambela, 2010:3). Pelayanan adalah
proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain yang langsung (Moenir,
2006:16-17). Berbicara mengenai pelayanan berarti berbicara mengenai suatu
proses kegiatan yang konotasinya lebih kepada hal yang abstrak (Intangible).
Pelayanan adalah merupakan suatu
proses, proses tersebut menghasilkan suatu produk yang berupa pelayanan, yang
kemudian diberikan kepada pelanggan. Pelayanan adalah aspek yang tidak bisa
disepelehkan dalam persaingan bisnis manapun. Karena dengan pelayanan konsumen
akan menilai kemudian menimbang apakah selanjutnya dia akan loyal kepada
pemberi layanan tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pelayanan adalah
suatu kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antarseseorang dengan
orang lain atau mesin secara fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan.
Berikut ini adalah Keputusan MENPAN
Nomor 63 tahun 2003, mengenai pelayanan , terutama pelayanan publik :
a) Pelayanan
Publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara
pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun
pelaksanaan ketentuan Peraturan Perundang–undangan.
b) Penyelenggaraan
adalah pelayanan Publik adalah Instansi Pemerintah.
c) Instansi
Pemerintah adalah sebutan kolektif meliputi satuan kerja satuan organisasi
Kementrian, Departemen, Kesekretariatan Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara,
dan instansi Pemerintah lainnya, baik pusat maupun Daerah termasuk Badan Usaha
Milik Daerah.
d) Unit
penyelenggara pelayanan publik adalah unit kerja pada instansi Pemerintah yang
secara langsung memberikan pelayanan kepada penerima pelayanan publik.
e) Pemberi
pelayanan publik adalah pejabat/ pegawai instansi pemerintah yang melaksanakan
tugas dan fungsi pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang- undangan.
f) Penerima
pelayanan publik adalah orang, masyarakat, instansi pemerintah dan badan hukum
yang menerima pelayanan dari instansi pemerintah.
b. Dimensi
Kualitas Pelayanan
Kualitas layanan berpusat pada upaya
pemenuhan kebutuhan dan keinginan serta ketepatan penyampaiannya untuk
mengimbangi harapan pelanggan. Ada dua faktor yang mempengaruhi kualitas jasa,
yaitu expected service dan perceived service. Kualitas harus
dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berpikir pada persepsi pelanggan. Hal ini
berarti citra kualitas yang baik bukanlah berdasarkan sudut pandang atau
persepsi penyedia jasa melainkan berdasarkan sudut pandang atau persepsi
pelanggan.
Kualitas harus dimulai dari
kebutuhan pelanggan dan berakhir pada presepsi pelanggan (Kotler, 2005). Hal
ini berarti bahwa citra kualitas yang baik bukanlah berdasarkan sudut pandang
atau persepsi pihak penyedia jasa, melainkan berdasarkan sudut pandang atau
presepsi pelanggan. Persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa merupakan
penilaian menyeluruh atas keunggulan suatu jasa.
Menurut Lupioadi (2006) menyatakan
ada lima dimensi kualitas pelayanan. Kelima dimensi pokok tersebut meliputi :
a) Keandalan
(reliability), kemampuan rumah sakit memberikan pelayanan sesuai dengan yang
dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Kinerja harus sesuai dengan harapan
pelanggan yang berarti ketepatan waktu, pelayanan yang sama untuk semua pasien
tanpa kesalahan, sikap yang simpatik dan dengan akurasi yang tinggi.
b) Daya
Tanggap (responsiveness), yaitu suatu kebijakan untuk membantu dan memberikan
pelayanan yang cepat dan tepat kepada pasien ,dengan penyampaian informasi yang
jelas. Membiarkan konsumen menunggu tanpa ada alasan yang jelas menyebabkan
persepsi negatif dalam kualitas pelayanan.
c) Jaminan
(assurance), yaitu pengetahuan, kesopansantuanan dan kemampuan para pegawai
rumah sakit menumbuhkan rasa percaya para pasien. Hal ini meliputi beberapa
komponen antara lain komunikasi (communication), kredibilitas (credibility),
keamanan (security), kompetensi (competence) , dan sopan santun (courtesy).
d) Bukti
langsung (tangibles), yaitu kemampuan rumah sakit menunjukkan eksistensinya
kepada pihak eksternal. Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik
rumah sakit yang dapat diandalkan keadaan lingkungan sekitarnya merupakan bukti
nyata dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa. Hal ini meliputi
fasilitas fisik Contoh gedung, gudang, perlengkapan dan tehnologi kedokteran
yang digunakan serta penampilan pegawainya.
e) Empati
(empathy), yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau
pribadi yang diberikan kepada para pelanggan dengan berupaya memahami keinginan
pasien. Dimana suatu perusahaan maupun rumah sakit diharapkan memiliki
pengetahuan dan pengertian tentang pelanggan secara spesifik, serta memiliki
waktu pengoperasian yang nyaman bagi pasien.
c. Konsep
Pelayanan Kesehatan
Untuk dapat meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat, banyak hal yang perlu dilakukan. Salah satu diantaranya
yang dipandang mempunyai peran yang cukup penting ialah penyelenggaraan
pelayanan kesehatan (Blum 1974 dikutip oleh Azwar, 2000). Pelayanan adalah
suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung
antara seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik, dan menyediakan
kepuasan pelanggan. Dalam Kamus besar bahasa Indonesia dijelaskan pelayanan
sebagai usaha melayani kebutuhan orang lain (Adunair, 2007).
Pengaturan mengenai pelayanan
kesehatan di Indonesia secara tersirat terdapat dalam Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Peraturan
Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan.
Berikut ini pengertian pelayanan kesehatan
menurut para ahli dan institusi kesehatan adalah :
a) Menurut
Prof. Dr. Soekidjo Notoatmojo
Pelayanan kesehatan adalah sub
sistem pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya adalah pelayanan preventif
(pencegahan) dan promotif (peningkatan kesehatan) dengan sasaran masyarakat.
b) Menurut
Azwar (1996)
Pelayanan kesehatan adalah setiap
upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalamn suatu
organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan
menyembuhkan penyakit serta memulihkan perseorangan, keluarga kelompok, dan
ataupun masyarakat.
c) Menurut
Depkes RI (2009)
Pelayanan kesehatan adalah setiap
upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu
organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan
menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok
dan ataupun masyarakat.
d) Menurut
Levey dan Loomba (1973)
Pelayanan Kesehatan adalah upaya
yang diselenggarakan sendiri/secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan,
mencegah, dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan,
keluarga, kelompok, atau masyarakat. Faktor Yang Mempengaruhi Pelayanan Kesehatan :
o
Ilmu pengetahuan dan teknologi baru
o
Pergeseran nilai masyarakat
o
Aspek legal dan etik
o
Ekonomi
o
Politik
Pelayanan kesehatan ialah setiap
upaya yang diselenggarakan secara sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu
organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan
menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan seseorang, keluarga, kelompok
dan ataupun masyarakat (Levey and Loomba dalam Azwar, 2000)
d. Syarat
Pokok Pelayanan Kesehatan
Sekalipun pelayanan kedokteran
berbeda dengan pelayanan kesehatan masyarakat, namun untuk dapat disebut
sebagai pelayanan kesehatan yang baik, keduanya harus mempunyai persyaratan
pokok, menurut Azwar (2000), persyaratan pokok tersebut adalah :
a) Tersedia
(available) dan berkesinambungan (continous) Artinya semua jenis pelayanan
kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat tidak sulit ditemukan, serta
keberadaannya dalam masyarakat ada pada saat dibutuhkan.
b) Dapat
diterima (acceptable) dan wajar ( appropriate). Artinya pelayanan kesehatan
tersebut tidak bertentangan dengan keyakinan dan kepercayaan masyarakat.
c) Mudah
dicapai (accessible) Pengertian ketercapaian yang dimaksud disini terutama dari
sudut lokasi. Dengan demikian untuk dapat mewujudkan pelayanan kesehatan yang
baik, maka pengaturan distribusi sarana kesehatan menjadi sangat penting.
d) Mudah
dijangkau (affordable) Pengertian keterjangkauan yang dimaksud disini terutama
dari sudut biaya. Untuk dapat mewujudkan keadaan yang seperti ini harus
diupayakan biaya pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kemampuan ekonomi
masyarakat.
e) Bermutu
(quality) Pengertian mutu yang dimaksud disini adalah yang menunjuk pada
tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan, yang disatu
pihak dapat memuaskan para pemakai jasa pelayanan, dan dipihak lain tata cara
penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik dan standar yang telah ditetapkan.
2.2 Konsep Pengguna Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS)
a) Pengertian
dan tupoksi BPJS
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) adalah badan hukum public yang bertanggungjawab kepada presiden dan
berfungsi menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk
Indonesia termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 bulan di
indonesia. (UU No.24 tahun 2011 tentang BPJS).
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang di
selenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang
bersifat wajib dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan
masyarakat yang layak di berikan kepada setiap orang yang membayar iur atau
iurannya dibayar oleh pemerintah.(UU No.40 tahun 2004 tentang SJSN).
Kedua badan tersebut pada dasarnya
mengemban misi negara untuk memenuhi hak setiap orang atas jaminan sosial
dengan menyelenggarakan program jaminan yang bertujuan untuk memberi kepastian
perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.
Mengingat pentingnya peranan BPJS
dalam menyelenggarakan program jaminan sosial dengan cakupan seluruh penduduk
Indonesia, maka UU BPJS memberikan batasan fungsi, tugas dan wewenang yang
jelas kepada BPJS. Dengan demikian dapat diketahui secara pasti batas-batas
tanggung jawabnya dan sekaligus dapat dijadikan sarana untuk mengukur kinerja
kedua BPJS tersebut secara transparan.
Dasar hukum dalam penyelenggaraan
program BPJS ini adalah :
a) Undang
– Undang ( UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN dan UU No 24 Tahun 2011 tentang
BPJS)
b) Peraturan
Pemerintah
· PP
No. 90 Tahun 2013 tentang pencabutan PP 28/2003 tentang subsidi dan iuran
pemerintah dalam penyelenggaraan asuransi kesehatan bagi PNS dan penerima
pensiun.
· PP
No. 85 Tahun 2013 tentang hubungan antara setiap Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial.
· PP
No. 86 Tahun 2013 tentang tata cara pengenaan sanksi administratif kepada
pemberi kerja selain penyelenggara Negara dan setiap orang, selain pemberi
kerja, pekerja dan penerima bantuan iuran dalam penyelenggaraan jaminan sosial.
· PP
No. 87 Tahun 2013 tentang tatacara pengelolaan aset jaminan sosial kesehatan.
· Perpres
No. 111 Tahun 2013 tentang perubahan atas perpres no. 12 Tahun 2013 tentang
jaminan kesehatan.
· Perpres
No. 109 Tahun 2013 tentang penahapan kepesertaan program jaminan sosial.
· Perpres
No. 108 Tahun 2013 tentang bentuk dan isi laporan pengelolaan program jaminan
sosial.
· Perpres
No. 107 Tahun 2013 tentang pelayanan kesehatan tertentu berkaitan dengan
kegiatan operasional kementerian pertahanan, TNI, dan Kepolisian NRI.
· Perpres
No. 12 Tahun 2013 tentang jaminan kesehatan.
Adapun fungsi BPJS sesuai dengan
yang tertuang dalam pasal 5 ayat (2) UU No.24 Tahun 2011 disebutkan fungsi BPJS
adalah menyelenggarakan program jaminan kesehatan dan menyelenggarakan program
jaminan kesehatan kecelakaan kerja, program jaminan kematian, program jaminan
pensiun dan jaminan hati tua.
Dalam melaksanakan fungsi
sebagaimana tersebut diatas BPJS bertugas untuk:
a) Melakukan
dan/atau menerima pendaftaran peserta.
b) Memungut
dan mengumpulkan iuran dari peserta dan pemberi kerja.
c) Menerima
bantuan iuran dari Pemerintah.
d) Mengelola
Dana Jaminan Sosial untuk kepentingan peserta.
e) Mengumpulkan
dan mengelola data peserta program jaminan sosial.
f) Membayarkan
manfaat dan/atau membiayai pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan program
jaminan sosial.
g) Memberikan
informasi mengenai penyelenggaraan program jaminan sosial kepada peserta dan
masyarakat.
Dalam
menjalankan tugasnya , BPJS juga memiliki prinsip yang menjadi dasar dalam
melakukan segala tindakan. Prinsip dasar BPJS adalah sesuai dengan apa yang
dirumuskan oleh UU SJSN Pasal 19 ayat 1 yaitu jaminan kesehatan yang
diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip
ekuitas.
Maksud prinsip asuransi sosial
adalah :
a) Kegotongroyongan
antara si kaya dan miskin, yang sehat dan sakit, yang tua dan muda, serta yang
beresiko tinggi dan rendah.
b) Kepesertaan
yang bersifat wajib dan tidak selaktif.
c) Iuran
berdasarkan presentase upah atau penghasilan.
d) Bersifat
nirlaba.
Sedangkan
prinsip ekuitas adalah kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan
kebutuhan medis yang terikat dengan besaran iuran yang dibayarkan. Kesamaan
memperoleh pelayanan adalah kesamaan jangkauan finansial ke pelayanan kesehatan
yang merupakan bagian dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan masuk dalam
program pemerintah pada tahun 2014.
b) Pelayanan
BPJS
Ada dua jenis pelayanan yang
diperoleh peserta BPJS, yaitu berupa pelayanan kesehatan atau medis serta
akomodasi dan ambulan ( non medis). Ambulan diberikan pada pasien rujukan dari
fasilitas kesehatan dengan kondisi tertentu yang ditetapkan BPJS.
Pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional
mencakup pelayanan promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai
sesuai dengan kebutuhan medis.
Pelayanan promotif dan preventif
meliputi :
a) Penyuluhan
kesehatan perorangan meliputi faktor resiko penyakit dan perilaku hidup bersih
dan sehat.
b) Imunisasi
dasar meliputi BCG, DPT, Hepatitis B, Polio dan campak.
c) Keluarga
Berencana meliputi kontrasepsi dasar, vasektomi dan tubektomi.
d) Skrining
kesehatan diberikan secara selektif yang ditujukan untuk mendeteksi resiko
penyakit dan mencegah dampak lanjut dari penyakit tertentu
c) Prosedur
Pelayanan
Peserta yang memerlukan pelayanan
pertama-tama harus memperoleh pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan
tingkat pertama. Bila peserta memerlukan pelayanan kesehatan tingkat lanjut,
maka harus dilakukan melalui rujukan oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama,
kecuali dalam keadaan gawat darurat
Pelayanan kesehatan yang dijamin
meliputi:
a) Pelayanan
kesehatan tingkat pertama, yaitu pelayanan kesehatan non speasialistik mencakup
:
·
Administrasi pelayanan
·
Pelayanan promotif dan preventif
·
Pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi
medis
·
Tindakan medis non spesialistik, baik
operatif maupun non operatif
·
Pelayanan obat dan bahan medis habis
pakai
·
Transfusi darah sesuai dengan kebutuhan
medis
·
Pemeriksaan penunjang diagnostic
laboratorium tingkat pratama dan
·
Rawat inap tingkat pertama sesuai dengan
indikasi.
b) Pelayanan
kesehatan rujukan tingkat lanjutan, yaitu pelayanan kesehatan mencakup Rawat
jalan yang meliputi:
·
Administrasi pelayanan
·
Pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi
spesialistik oleh dokter spesialis dan subspesialis
·
Tindakan medis spesialistik sesuai
dengan indikasi medis
·
Pelayanan obat dan bahan medis habis
pakai
·
Pelayanan alat kesehatan implant
·
Pelayanan penunjang diagnostik lanjutan
sesuai dengan indikasi medis
·
Rehabilitasi medis
·
Pelayanan darah
·
Pelayanan kedokteran forensic
·
Pelayanan jenazah di fasilitas
kesehatan.
c) Pelayanan
yang tidak di jamin :
·
Tidak sesuai prosedur.
·
Pelayanan diluar fasilitas kesehatan
yang bekerja sama dengan BPJS.
·
Pelayanan bertujuan kosmetik.
·
General Chek up dan pengobatan
alternatif.
·
Pengobatan untuk mendapatkan keturunan,
pengobatan impotensi.
·
Pelayanan kesehatan pada saat bencana.
·
Penyakit yang timbul akibat kesengajaan
untuk menyiksa diri sendiri atau bunuh diri atau narkoba.
BAB
III
PEMBAHASAN
Public management is an interdisciplinary
study of generic aspects of organization. It is a blend of the planning,
organizing, and controlling functions of management with the management of
human, financial, physical, information and political resources.( Overman
1984:1). Secara mendasar dapat diartikan, manajemen publik merupakan penelitian
interdisipliner aspek generik organisasi. Merupakan perpaduan dari perencanaan,
pengorganisasian, dan pengendalian fungsi manajemen dengan manajemen sumber
daya manusia, keuangan, informasi fisik, dan sumber daya politik. Dalam hal ini
dapat disimpulkan bahwa manajemen publik merupakan sebuah kinerja kompleks dari
aktornya yaitu pemerintah dan seluruh pegawainya untuk melayani publik dengan
sebaik-baiknya dan publik merasa terpenuhi semua keinginannya dengan bagusya
kinerja atau pengaturan dari dalam organisasi publik itu sendiri. Pengaturannya
yang bukanlah murni untuk sekedar mencapai profit organisasi melainkan melayani
konsumen yang berupa masyarakat sehingga harus memperhatikan manajemen semua
aspek yang menjadi penunjang kinerja organisasi.
Management in the public is
therefore a process, subject to challenge and debate. The model of management
in the public domain has to accept and meet the requirement of public
accountability.[1]
Manajemen dalam masyarakat suatu proses, oleh karena itu merupakan subjek untuk menantang dan debat. Model
manajemen dalam domain publik harus menerima dan memenuhi persyaratan
akuntabilitas publik.
Hal
ini dapat disimpulkan bahwa manajemen publik merupakan media ataupun actor
penentu yang memiliki peran dalam setiap permasalahan social dan hal tersebut
dilakukan dengan bentuk wacana atau debat dan melakukan perbaikan serta
melaksanakan setiap amanah rakyat sebgai bentuk akuntabilitas kepada rakyat. Peran
seperti ini sangat terlihat pada pemerintah dan setiap aktor pembuat kebijakan
dan pengatur setiap masalah dan pengaturan sosial.
Public management does include
administration, but also involves organisation to achieve objectives with
maximum efficiency, as well as genuine responsibility for results.[2] Dari
pernyataan ini , dikatakan bahwa manajemen publik. tidak termasuk administrasi,
tetapi juga melibatkan organisasi untuk mencapai tujuan dengan efisiensi
maksimum, serta tanggung jawab asli untuk hasil. Dalam hal ini Owen mengatakan
bahwa manajemen publik tidak termasuk di dalamnya administrasi, namun
menggunakan atau melibatkan organisasi sebagai actor atau badan dalam
pengaturan sehingga dalam pelaksanaan
tugas guna mencapai tujuan bisa dengan maksimal dan memenuhi tanggung jawab
yang diberikan.
Penekanan
dalam pengertian ini bahwa manajemen publik murni sebuah pengaturan dan bukan
sebagai system administrasi, namun dalam pelaksnaannya menggunakan organisasi
sebagai bentuk keteraturan.
Manajemen
publik bukan “policy analisis”, bukan juga administrasi publik, atau
kerangka yang lebih baru.[3] Dalam
pengertian ini lebih memfokuskan dari manajemen publik, dan mengatakan bahwa
adanya perbedaan dari administrasi publik dengan manajemen publik atau policy
analysis, manajemen benar-benar sebagai sebuah pengaturan yang berhubungan
dengan permasalahan social atau menunjang kinerja aktor dari pemerintah dalam
bentuk penataan organisasi.
Melalui beberapa
pernyataan diatas , manajemen publik dapat dinyatakan sebagai sebuah kinerja
kompleks meliputi perpaduan dari perencanaan, pengorganisasian, dan
pengendalian fungsi manajemen dengan manajemen sumber daya manusia, keuangan,
informasi fisik, dan sumber daya politik yang dilakukan oleh pemerintah dan
seluruh pegawainya untuk melayani publik / masyarakat dengan sebaik-baiknya dalam
rangka memenuhi melayani kebutuhan publik dan bukan semata-mata untuk mencari
profit
Menurut
laporan yang dirilis oleh Political and Economic Risk Consultancy [4](PERC)
yang berbasis di Hongkong yang meneliti pendapat para eksekutif bisnisasing
(expatriats) disimpulkan bahwa birokrasi Indonesia dinilai termasuk terburuk
dan belum mengalami perbaikan berarti dibandingkan keadaan di tahun 1999,
meskipun lebih baik dibanding keadaan Cina, Vietnam dan India.Dalam laporan
PERC ini dinyatakan bahwa pada tahun 2000, Indonesia memperoleh skor 8,0 atau
tak bergerak dari skor 1999, dari kisaran skor yangdimungkinkan, yakni nol
untuk terbaik dan 10 untuk terburuk. Skor 8,0 atau jauhdi bawah rata-rata ini
diperoleh berdasarkan pengalaman dan persepsi expatriats yang menjadi responden
bahwa antara lain menurut mereka masih banyakpejabat tinggi pemerintah
Indonesia yang memanfaatkan posisi mereka untukmemperkaya diri sendiri dan
orang terdekat.
Terjadinya
inefisiensi dalam pelayanan publik seperti pemberian pelayanan mendasar dan
pelayanan kesehatan membuat masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan mereka.
Tidak hanya itu saja , berbelit-belitnya prosedur dan rendahnya profesionalitas
administrator publik membuat masyarakat semakin “ogah” untuk menggunakan atau
mamanfaatkan pelayanan publik yang harusnya menjadi hak setiap warga negara.
Sebagai contoh , pelayanan kesehatan BPJS bagi masyarakat Indonesia
Kesehatan
adalah keadaan sejahtera dalam badan, jiwa, dan sosial sebagai modal setiap
insan manusia untuk melakukan kegiatan yang produktif. Meskipun kesehatan merupakan
kebutuhan vital yang dibutuhkan tiap manusia , tidak semua orang terlahir dalam
kondisi ekonomi yang memadai untuk memenuhi vital tersebut . Berangkat dari
kondisi ini dan kebutuhan masyarakat akan adanya jaminan kesehatan , pemerintah
melakukan tindakan campur tangan untuk membantu warga negaranya dalam
menyediakan jaminan kesehatan yaitu BPJS Kesehatan (Badan penyelenggara Jaminan
Sosial) bagi masyarakat baik yang kurang mampu maupun yang bergabung.
Pada
prinsipnya BPJS yang mempunyai tujuan utama “universal health coverage” ini,
merupakan lembaga jaminan kesehatan yang mengedepankan keadilan sosial.
Pelayanan kesehatan melalui BPJS memperoleh ekspektasi publik yang sangat
tinggi, walaupun masih banyak persoalan yang harus diatasi, baik dari pihak
pemerintah, pengelola BPJS, maupun masyarakat. Suatu hal yang menjadi masalah
utama adalah resources atau dana, dana keluar (demand) dan dana masuk (supply)
selalu tidak match. Untuk itu, BPJS Kesehatan harus menguatkan tiga pilar
utama, meliputi revenue collection untuk memastikan ketersediaan sumber dana,
risk pooling untuk memastikan adanya subsidi silang antar peserta, serta
purchasing untuk memastikan tersedianya pola dan besaran pembayaran bagi
faskes. Dengan strategi sistematis dari pihak BPJS yang mengedepankan prinsip
keadilan sosial tersebut pada saat karya ilmiah ini ditulis masih terjadi
“mismatch” atau ketidaksesuaian antara supply & demand dengan selisih
sebesar 7 triliun rupiah. Masalah yang terjadi ini disebabkan oleh kurangnya
anggaran dana dari pemerintah terhadap BPJS. Pada APBN-P 2015. Alokasi anggaran
untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS pada APBN-P 2015 hanya sebesar Rp 20,3 triliun
triliun, angka tersebut didasarkan pada cakupan penduduk miskin yang mencapai
88,2 juta jiwa dengan nilai PBI perorang sebesar Rp 19.225 perorang selama
setahun. Selain itu anggaran untuk Kementerian Kesehatan pada tahun yang sama
hanya Rp51,3 triliun atau 2,6 persen dari belanja APBN-P yang mencapai Rp1.984
triliun Berdasarkan data WHO pada tahun 2012 belanja kesehatan pemerintah
Indonesia sebesar 39,6 persen dari total biaya kesehatan yang dikeluarkan pada
periode yang sama, angka tersebut lebih rendah dibandingkan dengan beberapa
negara di Asia seperti Malaysia sebesar 55,2%, Thailand 79,5 persen, dan Cina
(56 persen).
Masalah
anggaran dana selalu menjadi masalah klasik yang seringkali terjadi di
Indonesia, masalah anggaran dana seringkali menajadi akar dari berbagai
masalah. Dalam konteks ini, anggaran dana yang minim merupakan akar masalah
yang pada akhirnya berdampak pada rendahnya pengembangan infrastruktur dan
terbatasnya kualitas layanan kesehatan. Contoh konkritnya adalah dari 109 rumah
sakit milik pemerintah daerah provinsi, baru 20 yang ditetapkan sebagai rumah
sakit rujukan karena faktor kesenjangan fasilitas dan ketersediaan tenaga medis
dan paramedis antara satu rumah sakit dengan lainnya. Ini mengindikasikan
fasilitas dan ketersedian tenaga kesehatan antar provinsi masih sangat timpang.
Kesenjangan tersebut menjadikan beban rumah sakit yang menjadi tujuan rujukan
semakin besar. Dampak lainnya, insentif bagi tenaga kesehatan sangat minimalis,
sementara beban kerja semakin besar. Akibatnya, sebagian mereka tidak dapat
bekerja secara optimal. Layanan
kesehatan yang diberikan kepada peserta BPJS juga dibedakan berdasarkan jenis
iuran dan keanggotaan mereka. rakyat miskin yang menjadi penerima bantuan iuran
(PBI) dari Pemerintah maupun mereka yang hanya mampu membayar premi yang paling
rendah akan mendapatkan kelas fasilitas kelas III. Adapun PNS/TNI/Polri berhak
mendapatkan layanan kelas II hingga kelas I berdasarkan jabatan dan tingkat
kepangkatan mereka. Pekerja swasta dan penduduk yang lebih mampu juga bisa
memilih kelas yang lebih tinggi. Memang, dalam aturannya pelayanan sama-sama
diberikan oleh penyedia layanan kesehatan. Namun, sedikit-banyak kondisi
ruangan sangat berpengaruh terhadap kenyamanan pasien. Pengkastaan ini tak ayal
menyebabkan penumpukan jumlah pasien di kelas III. Maklum, jumlah penduduk yang
berpenghasilan menengah bawah di negeri ini masih sangat besar. Keterbatasan
fasilitas, beban kerja tenaga kesehatan (dokter, perawat, dll) yang berlebihan,
ditambah dengan manajemen yang buruk, membuat layanan kesehatan golongan ini
menjadi tidak optimal.
Pemerintah
baru saja mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan
Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan
yang salah satu isinya adalah mulai 1 April 2016 iuran Peserta BPJS Kesehatan
dinaikkan. Besaran iuran kelas I yang semula Rp 59.500 menjadi Rp 80 ribu.
Iuran kelas II yang semula Rp 42.500 naik menjadi Rp 51 ribu. Sedangkan iuran
kelas III yang semula Rp 25.500 menjadi Rp 30 ribu. Dalam kenyataannya,
penerapan sistem ini membuat beban yang harus dipikul oleh rakyat tidak hanya
pajak, namun juga iuran asuransi sosial. Di Indonesia, dengan adanya BPJS,
selain membayar pajak penghasilan yang berkisar antara 5-30%, mereka juga harus
membayar iuran. Ini belum berbagai jenis pajak lainnya seperti PPN sebesar 10%
dari setiap transaksi barang kena pajak. Dengan mengembalikan biaya jaminan
kesehatan kepada masyarakat yang pada akhirnya digunakan untuk subsidi silang
ini, menjadikan pemerintah terkesan melalaikan tanggung jawabnya dalam menjamin
kesehatan masyarakat. Belakangan ini , maraknya berita tentang kenaikan iuran
kesehatan BPJS tersebut membuat masyarakat tidak tenang. Dengan kenaikan iuran
ini masyarakat merasa dirugikan karena pelayanan dan fasilitas yang diberikan
pemerintah tidak kunjung membaik.
Selain
permasalahan iuran yang tidak sesuai dengan pelayanan yang didapatkan , muncul
lagi masalah-masalah lain. Seperti yang kita ketahui , sejak BPJS Kesehatan
pertama dilluncurkan hingga saat ini belum ada penurunan angka kematian ataupun
penurunan angka orang sakit di Indonesia . Hal ini diperkuat dengan dengan data
dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia[5] yang
menyatakan bahwa pada tahun 2013 hingga 2016 ini , angka kematian ibu dan bayi
tetap pada statistik yang sama tiap tahunnya , tidak hanya itu saja , angka
kematian pasien pengguna BPJS di rumah sakit juga tetap setiap tahunnya . Tidak
ada penurunan dan peningkatan.
Tidak
hanya itu saja , masyarakat pengguna BPJS kecewa dan tidak puas dengan
pelayanan yang diberikan BPJS Kesehatan. Berdasarkan data penelitian
kuantitatif yang dilakukan Nur Ifah Intan Suaib[6] dalam
Kualitas Pelayanan Kesehatan Dengan Kepuasan Pasien BPJS Di Rsud Kabupaten Luwu
, dikatakan bahwa :
AKSES
|
PUAS
|
TIDAK PUAS
|
Efisiensi
|
19,8%
|
80%
|
Pelayanan
|
19,1%
|
80,9%
|
Kompetensi teknis
|
49,6%
|
50,4%
|
Ada
beberapa faktor yang menjadi alasan ketidakpuasan pasien pengguna BPJS
Kesehatan :
1. Aturan
yang berbelit
Dengan dikeluarkannya aturan waktu
tunggu aktivasi kartu selama tujuh hari oleh BPJS membuat pelayanan BPJS tidak
bisa langsung dilakukan , melainkan harus menunggu selama seminggu sejak
diterimanya kartu.
2. Masalah
rujukan menyulitkan pasien kritis
Tidak ada yang dapat menduga kapan
datangnya musibah. Orang yang semula sehat bisa saja jatuh sakit karena
mengalami kecelakaan dan harus mendapat penanganan medis segera. Namun, respon
cepat kerap tidak diperoleh pasien BPJS Kesehatan.
Penyebabnya adalah rumitnya alur
pelayanan BPJS Kesehatan karena menerapkan alur pelayanan berjenjang. Sebelum
ke rumah sakit, seorang peserta wajib terlebih dulu ke faskes tingkat pertama
(puskesmas) untuk mendapatkan rekomendasi. Peserta BPJS yang butuh penanganan
gawat darurat kerap tidak tertangani karena masalah ini.
3. Sosialisasi
yang minimum
Ada rumah sakit yang masih menolak
pasien BPJS atau memulangkan pasien karena menganggap plafon yang dipakai sudah
habis. Kasus lain adalah biaya obat atau barang habis pakai yang seharusnya
gratis masih harus dibayar oleh peserta BPJS Kesehatan. Ini artinya,
sosialisasi BPJS Kesehatan terhdap rumah sakit belum terlaksana dengan baik.
4. Sistem
kerja yang lambat
Meski peserta membayar, mendaftar
BPJS Kesehatan tidak mudah. Orang bahkan harus mengantre berjam-jam untuk
mendafatr sebagai peserta. Banyaknya antrian peserta BPJS yang datang lambat
tertangani karena sistem kinerja yang lambat, loket yang sedikit dan juga
jumlah antrian yang kurang terkontrol. Sebenarnya BPJS menawarkan solusi berupa
pendaftaran secara online. Namun, tidak semua orang bisa mengakses internet.
5. Verifikasi
klaim tindakan lambat
Tidak hanya peserta, BPJS Kesehatan
juga dikeluhkan oleh penyedia jasa fasilitas kesehatan. Penyebabnya adalah
lambatnya proses verifikasi klaim yang diajukan fasilitas kesehatan pada BPJS
Kesehatan. Padahal, verifikasi klaim tersebut sangat penting karena menyangkut
kesehatan keuangan perusahaan.
Lambat cairnya uang klaim tersebut
dapat menggangu pelayanan karena fasilitas kesehatan seperti rumah sakit
kesulitan dana untuk pengadaan sarana medis dan nonmedis. Hal ini yang
menyebabkan banyaknya keluhan fasilitas kesehatan sering kehabisan obat atau
barang medik lainnya.
6. Proses
Registrasi Yang berbelit
Selain proses registrasi online yang
ribet, ternyata website BPJS sendiri sering mengalami trouble. Seringnya hosting
website down membuat kolom pendaftarannya tidak bisa diakses sebagaimana
mestinya. Jadi bagi Anda yang ingin registrasi online, sepertinya Anda
harusmengurungkan niat Anda, karena memang pihak website BPJS yang mengalami
masalah.
7. Ruang
Perawatan Tidak Sesuai Dengan Jenis Iuran BPJS
Sebagaimana tertera dalam klausul
BPJS, jika menjadi anggota non-DPI dengan golongan 1. Tentunya akan mendapatkan
perawatan minimal di kelas 1 di RSUD. Namun dalam kenyataannya, ada beberapa rumah
sakit yang memang tidak merawat pasien tersebut di kamar yang seharusnya.
Biasanya mereka mengatakan bahwa peserta BPJS hanya bisa di kelas 3. Karena
memang kelas 1 biasanya sudah dipenuhi pasien non BPJS. Selain beberapa keluhan
tersebut, ternyata memang banyak sekali keluhan dalam prosedur pelayanan BPJS
Kesehatan
8. Rendahnya
ketersediaan dokter
Masih sedikit jumlah dokter yang
menangani pasien BPJS , Diantara berjuta juta pasien BPJS hanya tersedia sekitar
5 persen dokter dari jumlah pasien BPJS . Tidak hanya itu saja , ketersediaan
dokter ahli juga masih sangat sedikit .
9. Pelayanan
Dokter yang tidak maksimal
Adanya kejar setoran yang dilakoni
dokter yang menangani BPJS sering membuat pelayanan yang diberikan dokter tidak
maksimal. Dokter dengan pasien BPJS rata-rata melayani konsultasi hanya selama
5 menit per pasien . Padahal untuk standarnya saja , pemeriksaan dan konsultasi
membutuhkan setidaknya 15-20 menit.
Tidak hanya itu saja , dengan
bayaran dokter yang sedikit dari hasil penanganan pasien BPJS tersebut , banyak
dokter memilih untuk menangani pasien non-BPJS dan memberikan pelayanan
masksimal pada pasien non-BPJS karena mengahasilkan pendapatan yang lebih.
10. Jumlah
Fasilitas Kesehatan
Jumlah faslitas pelayanan kesehatan
yang kurang mencukupi dan persebarannya kurang merata khususnya bagi Daerah
Terpencil Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) dengan tingkat utilisasi yang rendah
akibat kondisi geografis dan tidak memadainya fasilitas kesehatan pada daerah
tersebut.
BAB IV
KESIMPULAN
Masih banyak kelemahan yang
ditunjukkan oleh BPJS Kesehatan , mulai pengelolaan kegiatan , keuangan dan
prosedur yang dilakukan . Secara umum , BPJS kesehatan merupakan rencana
pemerintah yang baik dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan menekan
angka kematian masyarakat . namun dibalik rencana yang baik ini ,
pelaksanaannya terkesan “amburadul”. Ibarat makanan, BPJS adalah rogram
pemerintah yang masih setengah matang. Bagus di perencanaan , namun sedikit
“kurang matang” dalam action atau pelaksanaannya. Penyebab dari hal ini dapat
disimpulkan sebagai ketidaksiapan pemerintah dalam mengorganisir pelaksanaan
BPJS. Seperti yang kita ketahui , planning
mengenai BPJS ini sudah dikaji secara akademik dan seharusnya berjalan dengan
baik . Namun dalam kenyataannya BPJS Kesehatan sering mengalami hambatan di
berbagai sektor.
Banyak hal yang perlu diperbaiki
oleh pemerintah dalam rangka memperbaiki kualitas pemberian pelayanan publik
kesehatan melalui BPJS ini. Diantaranya :
1. Perbaikan
Regulasi atau Kebijakan
Dalam sektor publik , sebuah
regulasi menjadi kunci utama sebagai alat penentu suatu pelayanan publik.
Dengan adanya regulasi atau kebijakan yang baik dan pro rakyat tentulah pelayan
publik akan berjalan dengan baik pula. Dalam kasus BPJS kesehatan , dibutuhkan
perbaikan regulasi terutama yang bernada pro-rakyat . seperti penghapusan
aturan masa tunggu aktivasi dan prosedur – prosedur lain yang merugikan rakyat
atau membuat rakyat tidak dapat memperoleh hak nya dalam pelayanan kesehatan.
Regulasi ini perlu diiringi dengan pemberian sanksi bagi para pelanggarnya ,
sehingga dapat memberikan efek jera bagi para pelanggarnya
Pada dasarnya , segala proyek
pemerintah diperuntukkan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dan pemenuhan
kebutuhan masyarakat . Oleh karena itu , kebijakan yang dibuat pun harus
berpihak pada rakyat , bukannya mempersulit masyarakat untuk memperoleh hak dan
kebutuhan mereka.
2. Perbaikan
sistem manajemen organisasi
Banyak juga yang mengeluhkan bahwa
sistem BPJS ini terlalu berbelit sehingga mempersulit masyarakat dalam
penggunaanya . Perlunya kajian terhadap sistem yang dapat digunakan agar BPJS
ini dapat berjalan dengan efektif , efisien dan transparan.
Hal ini bisa dilakukan dengan
mencontoh salah satu BUMN yang telah berhasil dalam gebrakan menciptakan sistem
baru yang efektif dan efisien , yaitu PT Kereta Api Indonesia. Manajemen yang
baik , prosedur pelayanan yang profesional dan sistem yang efektf – efisien
serta transparansi yang diaplikasikan dalam PT.KAI membuat kinerja PTKAI
semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kepuasan masyarakat dengan mutu ,
kinerja dan kualitas pelayanan yang diberikan PT.KAI.
Perbaikan manajemen organisasi BPJS
sendiri juga diharapkan dapat mengurangi defisit BPJS sehingga BPJS dapat terus
beroperasi tanpa memakan anggaran negara yang berlebihan.
3. Pengadaan
Fasilitas Kesehatan
Banyak nya pasien BPJS seringkali
membuat rumah sakit meolak pasien . Hal ini disebabkan kurangnya fasilitas yang
mendukung program BPJS. Jumlah rumah sakit yang mendukung program ini masihlah
sedikit . Tidak hanya itu saja , peralatan , jumlah kamar dan obat – obatan
yang tersedia masih sangat terbatas . Di kota besar seperti Surabaya saja ,
pasien pengguna BPJS menumpuk membuat RSUD Dr.Soetomo menggunakan lorong dan koridor
rumah sakit sebagai kamar bagi pasien. Hal ini tentu membuat pelayanan dan
penangan kesehatan menjadi tidak maksimal.Belum lagi apabila kita melihat
fenomena di daerah pelosook seperti NTT yang tidak memiliki rumah sakit memadai
di daerah nya .
Perlunya kerjasama pemerintah dengan
swasta untuk menambah mitra kerja pemerintah agar rumah sakit swasta yang ada
bisa menerima pasien pengguna BPJS. Bila perlu , pemerintah bisa menerapkan
wajib BPJS kepada seluruh rumah sakit yang ada di swasta
Diharapkan melalui solusi yang
ditawarkan ini dapat mengubah BPJS menjadi suatu program pelayanan kesehatan
pemerintah yang lebih baik kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Hughes, Owen E. 1994. Publik Management and Administration. New York : ST. Martin’s press.INC.
Keban.T Yeremias. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik. 2004. Gava Media: Yogyakarta.
Mc Kevitt, David and Lawton, Alan. Publik
Sector Management : Theory, Critique, and Practice. 1994. Sage Publikations, Cromwell Press;Great Britain.
Owen E. Hughes, Publik
Management and Administration; and Introduction Owen E.
Shafritz J.M., Ott J.S, dan A.C. Hyde, Publik Management: The Essential Reading.
1991. Il: Lyceum Books/ Nelson-Hall
Publisher; Chicago
Jurnal
& Web
Jurnal : Kualitas
Pelayanan Kesehatan Dengan Kepuasan Pasien Bpjs Di Rsud Kabupaten Luwu oleh Nur Ifah Intan Suaib, Sukri Palutturi, Muh
Yusran Amir . Departemen Administrasi
dan Kebijakan Kesehatan FKM Universitas Hasanuddin
[1]
Mc Kevitt, David and Lawton, Alan. Publik
Sector Management : Theory, Critique, and Practice. 1994. Sage
Publikations, Cromwell Press;Great Britain. Hal. 57
[2]
Owen E. Hughes. Publik Management and
Administration; and Introduction.United States of America,1994, by Scholarly
and Reference division, ST. MARTIN’S PRESS, INC; New York
[4]
Ali,Hasan . Permasalahan Manajemen Publik di Indonesia Hal.1
[5]
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-indonesia/profil-kesehatan-indonesia-2014.pdf
[6]
Jurnal Kualitas Pelayanan Kesehatan Dengan Kepuasan Pasien Bpjs Di Rsud
Kabupaten Luwu , Universitas Hasanudin Makassar
No comments:
Post a Comment